Budidaya Hidroponik Fakultas Pertanian Universitas Pattimura: Solusi Modern Pertanian Urban dan Tantangannya
Ambon 17 Oktober 2024 – Hidroponik kini semakin populer sebagai metode pertanian modern yang menjawab tantangan keterbatasan lahan dan kebutuhan pangan sehat di perkotaan. Ketua TIM Pengelola Budidaya hidroponik Fakultas Pertanian Wilhelmina Rumahlewang, SP., MP, mengungkapkan bagaimana teknik ini menawarkan solusi pertanian berkelanjutan sekaligus peluang ekonomi bagi masyarakat urban.
Hidroponik adalah teknik bercocok tanam tanpa tanah yang menggunakan air bernutrisi sebagai media tumbuh tanaman. Terdapat tiga komponen utama yang diperlukan dalam sistem ini, yaitu larutan nutrisi, cahaya, dan oksigen. Berbagai sistem hidroponik dikembangkan untuk kebutuhan spesifik, di antaranya: NFT (Nutrient Film Technique): Larutan nutrisi dialirkan tipis melalui talang (gully), DFT (Deep Flow Technique): Nutrisi mengisi pipa hingga 2/3 ketinggiannya, sering menggunakan pipa PVC berdiameter 2,5–3 inci, Rakit Apung: Wadah berisi larutan nutrisi dengan tanaman ditempatkan di atas sterofoam yang mengapung di permukaan air. Sistem ini bersifat statis, namun sering kali air perlu diaduk atau disirkulasikan untuk memastikan distribusi oksigen dan nutrisi merata.
Budidaya hidroponik bertujuan menghasilkan sayuran segar, bersih, dan bebas pestisida. Selain itu, sistem ini sangat relevan dengan konsep pertanian perkotaan (urban farming), di mana lahan terbatas menjadi tantangan utama. Selain hidroponik, urban farming juga melibatkan teknik lain seperti vertikultur, aquaponik, tabulampot (tanaman buah dalam pot), dan pemanfaatan pekarangan sempit.
Tak hanya untuk konsumsi pribadi, hidroponik membuka peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan penghasilan dengan menjual hasil panen sayuran. “Dengan kebutuhan pangan sehat yang terus meningkat, hidroponik bisa menjadi solusi bagi pemenuhan gizi sekaligus meningkatkan ekonomi keluarga,” ujar Ketua TIM
Meski menawarkan banyak keuntungan, hidroponik juga menghadapi tantangan. Salah satu masalah utama adalah ketersediaan air baku berkualitas. Air yang ideal untuk hidroponik memiliki kandungan partikel terlarut (TDS) rendah, di bawah 150 ppm untuk larutan nutrisi dan di bawah 20 ppm untuk larutan pekatan. Wely menjelaskan bahwa air hujan, air AC, atau air pegunungan biasanya memiliki konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan air sumur atau air sumur bor.
Tantangan lainnya meliputi perawatan instalasi untuk mencegah pertumbuhan lumut dan penanganan organisme pengganggu tanaman (OPT). Wely merekomendasikan penggunaan bahan organik untuk mengendalikan OPT agar produk tetap higienis. Di sisi lain, pemasaran produk menjadi kendala tersendiri. “Membangun jaringan pemasaran dan melakukan penetrasi pasar membutuhkan strategi dan solusi inovatif,” jelasnya.
Wilhelmina Rumahlewang optimistis dengan masa depan budidaya hidroponik di Indonesia. Ia berharap pasar semakin terbuka dan teknik hidroponik terus berkembang, terutama dengan memanfaatkan teknologi pintar seperti Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (AI). “Dengan penerapan teknologi modern, kami berharap hidroponik menjadi lebih efisien dan menarik bagi generasi muda,” tambahnya.
Budidaya hidroponik bukan hanya menjawab kebutuhan pangan urban, tetapi juga membuka peluang ekonomi dan inovasi di bidang pertanian. Dengan dukungan teknologi dan pemasaran yang tepat, hidroponik dapat menjadi salah satu solusi strategis untuk masa depan pertanian Indonesia.